Rabu, 21 Januari 2015

Cerpen : Tangisan Malam Hari

Diposting oleh joanitaprita di 23.55


Tak seperti biasanya, pagi itu Eci melihat kesibukan yang berada di seberang rumahnya, rumah yang telah lama kosong itu kini berpenghunu. Tampak seorang ibu sibuk membersihkan lantai dan ruangan. “ma, siapa yang menempati rumah kosong itu?” tanya eci penasaran.
                “mama dengar sih rumah itu di tempati pak anto dan keluarganya. Mereka pindahan dari yogyakarta.” Jawab mama. “syukurlah rumah itu sekarang tidak terlihat angker lagi. Soalnya eci sering merinding kalau melihat rumah yang kosong” tutur eci lagi.
Mama tersenyum geli mendengar perkataan eci. Malamnya, eci tidak bisa tidur. Di keheningan larut malam itu ia mendengar suara tangisan yang menyayat hati. Suara anak perempuan! Eci menduga suara itu beerasal dari rumah tetangga barunya. Padahal setau eci, keluarga itu tidak memiliki anak perempuan. Iiih.. eci jadi merinding.
Malam berikutnya, eci kembali mendengar suara tangisan yang sama. Kali ini terdengar lebih nyaring memecah keheningan. Meskipun penasaran, eci tidak berani memeriksa asal suara itu. Bagaimana kalau tiba-tiba muncul wajah yang menyeramkan di jendela kamarnya? Membayangkan itu, seketika eci melompat dari tempat tidurnya dan berlari masuk kamar mamanya.
Pagi harinya, eci bercerita pada mamanya tentang suara-suara yang di dengarnya. “tapi mama tidak mendengar suara tangisan kok” komentar mama eci. “mama sudah tertidur pulas sih. Suara itu baru terdengar saat larut malam” ujar eci.
Dari jendela, eci lalu memperhatikan rumah tetangganya dengan seksama. Keluarga pak anto tidak terlihat. Pintu rumahnya tertutup rapat. Aneh? Pikir eci. Sore harinya, eci mencari kucing kesayangannya. “catty!” “catty!” panggilnya. Sekilas eci melihat kucingnya masuk ke halaman rumah pak anto. Dengan sedikit ragu, eci melangkah membuntutinya. Dari balik pagar tembok ia melongok ke dalam halaman. Tampak sepi.
Ketika melongok ke arah samping rumah, eci melihat ada seorang anak perempuan sedang duduk di kursi. Anehnya anak itu berpakaian serba tertutup. Wajahnya pun memakai cadar. Tentu saja eci kaget. Namun karena penasaran ia mencoba menegurnya. “hai....” sapanya dengan gugup. Secepat kilat anak itu malah masuk ke dalam tanpa menoleh. Eci semakin penasaran. Sekarang ia baru tau kalo di dalam rumah tersebut terdapat anak perempuan yang misterius.
Pada kesempatan lain eci menghampiri bu anto yang sedang menyiram bunga. Bu anto ramah menyapa eci. Setelah bercakap beberapa waktu, eci memberanikan diri dan bertanya. “maaf ya bu anto, apa ibu punya seorang anak perempuan?” sejenak bu anto terdiam. Perlahan ia meletakan selang airnya di tanah. Matanya menerawang jauh. Matanya mulai berkaca-kaca.
“sebelumnya ibu mau minta maaf. Ibu memang punya seorang anak perempuan yang kira-kira sebaya denganmu. Namanya dira. Nukannya ibu tidak mau memperkenalkannya pada tetangga... tapi dira sedang mendapat cobaan...” bu anto berhenti. “cobaan? Maksud ibu?” tanya eci. “wajah dira tersiram minyak panas dan kulitnya melepuh. Sebab itu dia selalu mengurung diri dan tidak mau bertemu dengan orang-orang” tutur bu anto dengan sedih.
Bu anto kemudian mengajak eci masuk ke rumahnya. Di dalam sebuah kamar, eci mendapati seorang anak perempuann yang bercadar yang di jumpainya tempo hari. “mau apa kamu ke sini?” bentak dira. “ini eci, tetangga kita mau berkenalan denganmu dira” terang ibu anto. “hai aku eci! Aku ingin berkenalan denganmu. Ibumu sudah bercerita tentang kamu. Aku turut prihatin. Tapi aku yakin kamu akan sembuh kembali bila di operasi” eci menjabat tangan dira. Ia mencoba menghiburnya.
Sejak kejadian itu, eci selalu bermain ke rumah dira. Ternyata setelah berkenalan dengan eci perlahan-lahan dira bersemangat lagi. Ia tidak murung apa lagi menangis di malam hari. Eci pun tak henti membujuknya agar ingin di operasi. Berapa bulan kemudian, wajah dira benar-benar sembuh. Wajahnya cantik kembali.namun yang penting dira menjadi anak yang ceria lagi. Eci turut bahagia.


sumber : Tangisan Malam Hari oleh Yoga T, Bobo 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 

Joanita P. Hapsari Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos